Gejolak global kembali menguji ketahanan Rupiah. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS diperkirakan akan mengalami tekanan pada perdagangan hari ini. Beberapa faktor kunci, mulai dari eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah hingga data ekonomi Amerika Serikat, menjadi penentu arah pergerakan Rupiah. Lalu, bagaimana Rupiah akan bertahan? Mari kita telaah lebih dalam.
Ketegangan di Timur Tengah, dengan adanya serangan langsung oleh AS ke situs nuklir Iran, menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global. Konflik yang meningkat ini memicu kekhawatiran akan stabilitas ekonomi, mendorong investor untuk mencari aset safe haven seperti Dolar AS. Akibatnya, Rupiah menghadapi tekanan yang signifikan.
Ahmad Mikail Zaini, Ekonom dari Sucor Sekuritas, memperkirakan bahwa peningkatan eskalasi konflik dapat mendorong harga minyak dunia melonjak. Sebagai negara importir minyak, Indonesia akan merasakan tekanan tambahan pada neraca perdagangannya, yang selanjutnya dapat melemahkan Rupiah. Proyeksi Ahmad menunjukkan Rupiah berpotensi terkoreksi hingga Rp16.800 per Dolar AS dalam waktu dekat.
Selain geopolitik, data ekonomi AS juga memainkan peran penting. Nafan Aji Gusta, Ekonom sekaligus Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, menyoroti pentingnya data Personal Consumption Expenditure (PCE) AS yang akan dirilis pekan ini. Jika data PCE menunjukkan peningkatan, hal ini akan memperkuat Dolar AS dan memberikan tekanan tambahan pada Rupiah. Pasar cenderung lebih hati-hati dalam merespons situasi seperti ini, meningkatkan volatilitas di pasar saham, forex, dan komoditas.
Menghadapi tekanan ini, Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, memproyeksikan Rupiah akan bergerak dalam kisaran Rp16.350-Rp16.500 per Dolar AS. Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu menyiapkan langkah antisipasi untuk menjaga stabilitas ekonomi. Langkah-langkah tersebut meliputi penguatan cadangan devisa melalui kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang lebih efektif, intervensi pasar oleh Bank Indonesia, serta mitigasi fiskal.
Data historis menunjukkan bahwa Rupiah cenderung melemah saat terjadi konflik global. Pada saat perang Rusia-Ukraina pada tahun 2022, Rupiah melemah 0,03% dalam seminggu setelah perang pecah. Bahkan, Rupiah sempat menyentuh level terendah di Rp15.700 per Dolar AS, mencerminkan pelemahan signifikan sejak awal konflik. Begitu pula saat perang Hamas-Israel pada tahun 2023, Rupiah juga mengalami pelemahan.
Indeks Dolar AS (DXY) juga memberikan sinyal penting. Sejak dimulainya operasi militer oleh Israel terhadap Iran, DXY terus menguat, menandakan tekanan tambahan bagi Rupiah. Kenaikan DXY ini menunjukkan bahwa investor global mencari perlindungan dalam Dolar AS di tengah ketidakpastian.
Kombinasi antara eskalasi konflik geopolitik, data ekonomi AS, dan sentimen pasar global memberikan tekanan signifikan pada Rupiah. Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi, termasuk penguatan cadangan devisa dan intervensi pasar. Bagi investor, penting untuk tetap waspada dan mempertimbangkan diversifikasi portofolio. Dalam situasi seperti ini, aset safe haven seperti harga emas dapat menjadi pilihan yang menarik untuk melindungi nilai aset. Selain itu, pemantauan terhadap perkembangan geopolitik dan data ekonomi global secara berkala menjadi kunci untuk mengambil keputusan investasi yang tepat. Apakah Anda sudah siap menghadapi potensi guncangan Rupiah?
Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan Rupiah dan mengambil langkah-langkah mitigasi yang tepat, investor dapat mengelola risiko dan memanfaatkan peluang di tengah ketidakpastian pasar. Pantau terus perkembangan pasar dan konsultasikan dengan penasihat keuangan Anda untuk mendapatkan saran yang sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi Anda.